Tag Archives: politik

SURAT PEMBACA: Ketika Pengurus RT/RW Terkontaminasi” Kepentingan Politik Caleg

SURATPEMBACA-PolitikKetikaPengurusRTRWTerkontaminasiKepentinganPolitikCaleg sudah dekat. Para calegpun cari-cari akal termasuk akal-akalan supaya terpilih dan menang. Mulai dari memasang alat peraga dalam berbagai bentuk yang dipasang di pohon, tiang listrik, tembok, warung dan di mana yang kira-kira bisa dilihat dibaca orang. Juga membagikan kartu nama, brosur politik dan lain-lain. Termasuk di antaranya melakukan pendekatan ke pengurus RT/RW dengan janji-janji yang konon akan menguntungkan kedua belah pihak, baik caleg maupun para warga di RT/RW tersebut. Bisa terjadi di beberapa RT/RW di manapun di Indonesia.

Apakah RT/RW itu? Menurut Keppres No.49 Tahun 2001 dijelaskan dengan gamblang bahwa RT/RW atau Rukun Tetangga/Rukun Warga adalah Organisasi Kemasyarakatan atau Lembaga Kemasyarakatan yang melayani kepentingan warga dalam kaitannya membantu kepentingan pemerintahan setempat (pemerintah daerah).Jelaslah bahwa Pengurus RT/RW bukanlah organisasi politik. Juga sangat jelas, Pengurus RT/RW adalah melayani kepentingan warga, bukan mengurusi kepentingan caleg.

Promosi caleg.Sudah lama, sebelum ada pertemuan dengan para warga, caleg tersebut telah memasang spanduk di komplek perumahan. Di pohon, tiang telepon, pos satpam, balai RT/RW dan di mana-mana. Juga membagikan kalender 2014 dan lain-lain.

Janji caleg.Sudah jauh-jauh tersiar kabar bahwa caleg tersebut berjanji akan melakukan pembangunan di komplek perumahan. Terutama akan memperbaiki jalan. Mungkin diaspal mungkin dibeton. Alasannya, pembangunan jalan-jalan memang memakai uang rakyat, tapi tanpa lewat di (kebetulan anggota DPR incumbent) maka uang rakyat tidak bisa digunakan. Janjinya :” Kalau jalan-jalan di komplek perumahan Bapak/Ibu, belum diperbaiki, jangan pilih saya!”.

Undangan berhadiah. Supaya banya warga mau datang ke balai RT/RW (saya namakan demikian), maka caleg melalui undangan RT/RW menjanjikan undangan ada hadiah atau door-prize berupa mesin cuci dan dua buah kipas angin.Terkontaminasi kepentingan politik

Bisa dikatakan, Pengurus RT/RW yang merupakan organisasi atau lembaga kemasyarakatan non-politik. Dengan dibantunya kepentingan caleg, maka Pengurus RT/RW telah terkontaminasi kepentingan politik seorang caleg incumbent tersebut.  Maka orangpun menebak, itu terjadi mungkin karena Pengurus RT/RW masih ada hubungan saudara, mungkin sama-sama simpatisan parpol tertentu, mungkin mendapat “uang sogok” sekian puluh juta dan mungkin juga terbius oleh janji-janji perbaikan jalan.

Tidak etis.Bukan soal boleh atau tidak boleh. Tetapi, cara-cara seperti itu tidaklah etis karena “memperalat” Pengurus RT/RW. Membebani pengurus denngan kepentingan politik. Padahal, kalau soal perbaikan jalan, bisa dengan cara swa sembada atau mandiri.

Pembodohan warga. Apa yang dilakukan konspirasi caleg dan Pengurus RT/RW sebenarnya merupakan pembodohan politik bagi warga. Sebab, warga diiming-iming perbaikan jalan dan iming-iming lainnya. Di ssamping tidak mendidik juga kurang cerdas.

Warga mampu mandiri. Masih di dalam satu komplek, tetapi di RT/RW yang lain. Pengurus RT/RW-nya cerdas. Tiap bulan warganya dipungut iuran sesuai kemampuan. Bagi yang punya mobil dipungut iuran lebih mahal. Sekitar enam terkumpullah dana. Dana itu digunakan untuk perbaikan jalan berupa pembetonan jalan. Hasilnya, semua jalan di RT/RW tersebut menjadi bagus, rapi, halus dan nyaman. Tanpa ada unsur-unsur yang melibatkan kepentingan politik dari caleg tertentu.  Saran : Janganlah uang rakyat dijadikan alat berpolitik demi kepentingan politik seseorang atau sekelompok orang.

Hariyanto Imadha
Jl.Amarta 7 Blok D7/7
Vila Pamulang
Pamulang
Tangerang Selatan

SURAT PEMBACA: Pemilu 2014 Akan Memunculkan Saksi-Saksi Palsu?

SURATPEMBACA-Pemilu2014AkanMenghasilkanSaksiSaksiPalsu

SIAPA pengusul dana saksi pemilu, berapa besar dana saksi pemilu,berapa besar honor saksi pemilu, bagi saya bukan masalah yang utama. Masalah utama adalah dana tersebut menggunakan alasan karena beberapa parpol terutama parpol kecil dianggap tidak mampu menyediakan saksi pemilu di sekitar 500.000 TPS, terutama dari seksi dana. Yang mengherankan, dana saksi pemilu kabarnya tidak untuk parpol tetapi dikelola oleh bawaslu. Lebih mengherankan lagi, kabarnya dana tersebut tidak ada dasar hukumnya. Bahkan diambil dari APBN. Lebih janggal lagi ada yang menggunakan istilah saksi dari pemerintah. Tambah aneh lagi, tidak semua parpol setuju.

Dengan asumsi, tidak semua parpol mampu menyediakan saksi di semua TPS, yang berarti tidak mungkin memantau semua kondisi di semua TPS, bahkan termasuk parpol besar sekalipun, maka bukan tidak mungkin akan memunculkan banyaknya saksi-saksi palsu. Di mana ada parpol tidak punya saksi di suatu TPS, maka masuklah saksi palsu. Bisa mengatasnamakan PDI-P, Partai Gerindra, Partai Hanura atau lainnya. Padahal, saksi palsu itu dikendalikan oleh Partai Terkorup dan Tercurang, misalnya. Maka pastilah, suara Partai Terkorup dan Tercurang akan mendapatkan suara terbanyak di TPS tersebut, antara lain dengan cara memanipulasi perolehan suara.

Saya tidak menuduh. Hanya mencoba membuat analisa politik sekitar dana saksi pemilu yang menimbulkan pro kontra dan terkesan dipaksakan. Jika semua hal yang tidak transparan dan tampaknya tidak disetujui semua parpol, maka besar kemungkinannya Pemilu 2014 akan memunculkan sangat banyak saksi palsu yang pastinya merekayasa perolehan suara untuk memenangkan Partai Terkorup dan Tercurang.

Hariyanto Imadha
Pengamat Perilaku Politisi
Sejak 1973

SURAT PEMBACA: Ganti Debat Capres Dengan Adu Program Kerja

SURATPEMBACA-GantiDebatCapresDenganAduProgramKerja

DEBAT capres selama ini terbukti tida menarik dan hanya basa-basi saja. Di samping itu kontennya juga sudah klise atau kuno. Hanya berkisar meningkatkan kesejahteraan rakyat, pendididikan gratis, kesehatan gratis, persoalan sampah, banjir dan kemacetan. Materi debatnya tidak ada yang baru. Bahkan boleh dikatakan itu-itu saja. Sudah basi.

Karena rakyat semakin cerdas, maka debat capres ataupun visi dan misi sebaiknya diganti dengan adu program kerja. Konten atau materinya harus yang mendasar dan signifikan. Bukan materi seorang gubernur melainkan materi seorang calon presiden sebagai pengambil keputusan yang bersifat nasional. Misalnya, program kerja mengurangi utang luar negeri. Bagaimana caranya. Program kerja menasionalisasikan semua sumber daya alam. Bagaimana caranya. Program kerja pencegahan korupsi (bukan penanggulangan atau pemberantasan korupsi). Tentu program-program kerja yang bersifat nasional dan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi.

Atas dasar itu saya mengusulkan agar debat capres yang tidak bermutu itu diganti dengan adu program kerja dan diuraikan “how to”-nya. Bagaimana cara merealisasikannya. Rakyat sudah bosan dengan debat capres karena materinya hanya itu-itu saja. Bahkan debat capres lebih bersifat normatif-abstrak. Rakyat butuh mendengarkan program kerja para capres, karena program kerja lebih bersifat futuristik-kongkrit.

Hariyanto Imadha
Penulis Surat Pembaca
Sejak 1973

SURAT PEMBACA : MoU KPU dengan Lemsaneg Tidak Perlu

SURATPEMBACA-MoUKPUDenganLemsanegTidakPerlu

PEMILU 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Bamun sebagian masyarakat agak terkejut mendengar berita adanya MoU antara KPU dengan Lemsaneg (Lembaga Sandi Negara) sebab kerjasama itu bukan atas usul rakyat. Melihat ngototnya pihak Lemsaneg dan pernyataan yang menyatakan hasil kerja Lemsaneg tidak akan dilaporkan ke presiden (SBY) dan tidak akan menguntungkan pihak PD (Partai Demokrat) justru mengundang tanya dan kecurigaan. Sebab, berdasarkan tupoksi, jelaslah semua hasil kerja Lemsaneg wajib dilaporkan ke presiden. Tidak ada jaminan jaminan Lemsaneg tidak akan melaporkannya ke presiden dan juga tidak ada jaminan tidak akan menguntungkan PD. Apalagi Lemsaneg bersifat tertutup dan tidak mungkin pihak manapun mengetahui  hasil kerja Lemsaneg yang sebenarnya terutama dalam kaitannya data-data hasil pemilu. Dengan kata lain, MoU tersebut sangat layak untuk dicurigai oleh para pemilih maupun para kontestan pemilu.

Ada cara lain yang lebih transparan dan dijamin kejujurannya. Yaitu, KPU mengumumkan hasil pemilu  se-Indonesia per-TPS dan dimuat di website KPU. Dengan jumlah TPS sekitar 400.000 TPS hal tersebut bisa dilakukan dengan mudah sejauh data entry-nya dilakukan SDM yang kualitas dan kuantitasnya memadai. Misalnya: Hasil pemilu di DIY Yogyakarta TPS No.28 hasilnya sekian,  TSP No.5 sekian, TPS No.25 sekian dan seterusnya. Hasil pemilu di Kabupaten Tangerang di TPS No.1 sekian, TPS No.10 sekian dan seterusnya. Dengan demikian para pemilih bisa mencocokkan hasil pemilu di TPS tempat dia memilih dengan hasil yang diumumkan di website KPU. Misalnya Si A memilih di Kabupaten Cirebon TPS No.13, maka Si A bisa mencocokkannya di website KPU dengan menggunakan fasilitas “search” maupun dalam bentuk tabel per kabupaten/kota yang memuat rincian hasil pemilu per-TPS. Gagasan inipun bisa dilakukan oleh semua parpol kontestan pemilu, lembaga survei, relawan IT, LSM maupun lembaga independen lainnya.

Gagasan ini sangat mudah dan programnyapun tidak sulit pembuatannya. Untuk proses data entry-nyapun tidak sulit. Sistem ini mempunyai beberapa keuntungan. Antara lain, para pemilih bisa mencocokkan hasil di TPS dengan hasil yang dimuat di website KPU. Mudah mengontrolnya, jika ada ketidakcocokan bisa langsung diketahui dan dikoreksi. Sangat menjamin kejujuran dan keakuratan hasil pemilu. Sangat mudah diaudit. Tentunya, di samping hasil per-TPS, hasil per kabupaten/kota dan per provinsi juga harus diumumkan. Lebih sempurna lagi kalau diumumkan di website KPU dalam bentuk tabel yang memuat hasil per-TPS. Logikanya, dengan cara seperti itu, maka MoU antara KPU dengan Lemsaneg tidak diperlukan.

Hariyanto Imadha

 

SURAT PEMBACA: Mewaspadai Kemungkinan Kecurangan Pemilu 2014

SURATPEMBACA-MewaspadaiKemungkinanKecuranganPemilu2014

KEMUNGKINAN kecurangan pastilah ada. Bentuknya bermacam-macam. Antara lain data pemilih palsu atau tidak valid, TPS fiktif, rekayasa IT KPU, DPT yang sengaja dibuat kacau dan lain-lainnya. Selama ini hasil pemilu hanya dapat diketahui di TPS masing-masing yang kemudian secara tiba-tiba yang diumumkan adalah hasil pemilu secara nasional. Ada “skip” atau lompatan proses yang tidak dapat dikontrol oleh siapapun juga. Apalagi, selama ini hasil pemilu tidak dimungkinkan untuk  diaudit (diverifikasi, diklarifikasi maupun divalidasi).

Atas dasar itu, untuk mencegah terjadinya kecurangan, semua parpol sebaiknya mempunyai saksi di semua TPS, termasuk relawan jika kekurangan dana. Hasil di tiap TPS difoto dan dikirim ke alamat Data Center parpol yang bersangkutan, baik lewat e-mail, media sosial, faks , ponsel atau sarana komunikasi lainnya. Tentu harus dilengkapi dengan data lokasi TPS tersebut. Misalnya nomor TPS, kelurahan dan nama kota atau kabupaten. Tiap parpolsebaiknya membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan, misalnya tidak terdaftar di DPT, tidak mendapatkan surat panggilan dan lain-lain.

Kalau KPU benar-benar transparan dan punya niat menyelenggarakan pemilu secara jujur dan transparan, maka KPU-pun harus mengumumkan hasil pemilu per-TPS di website KPU. Tentu juga hasil per kota/kabupaten dan per-provinsi. Tidak sulit. Kalau KPU merasa kesulitan, dapat  bekerja sama dengan para ahli IT. Lebih bagus lagi kalau DPT dan hasil pemilu dapat diaudit, diverifikasi, diklarifikasi dan divalidasi semua parpol.

Pengawasan dan partisipasi dari masyarakat, terutama para pecinta kejujuran juga perlu. Antara lain turut mencatat hasil per-TPS. Bagi yang golput boleh-boleh saja (walaupun mungkin itu tidak baik), namun sebaiknya tetap datang ke TPS (walaupun mencoblos semua pilihan sehingga suara tidak sah). Sebab, jika tidak hadir di TPS, surat suaranya dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum parpol tertentu. Masyarakat juga harus memantau akan adanya berbagai kemungkinan kecurangan-kecurangan struktural dan sistematis.

Hariyanto Imadha
BSD Nusaloka XIV-5
Jl.Bintan 2 Blok S-1/11
Tangerang Selatan

SURAT PEMBACA: Gerakan Menggugat Transparansi KPU

SURATPEMBACA-GerakanMenggugatTransparansiKPU

SEJARAH politik Indonesia membuktikan, pemilu di Indonesia selalu diwarnai kecurangan. Termasuk juga pilkada. Episentrumnya ternyata di KPU atau KPUD. Sangat terasa, tetapi usaha untuk membuktikan seringkali terkendala.  Apalagi kalau berkas-berkas hasil pemilu sudah dimusnahkan atau dibakar.

Walaupun ada institusi yang mengawasi KPU, tampaknya secara umum tidak efektif. Malahan bisa jadi sebagian pengawas justru merupakan bagian dari skenario kecurangan. Memang tidak semuanya, tapi kecurangan itu pasti ada, walaupun sulit dibuktikan, tetapi bisa dirasakan.

Selama ini, KPU mengumumkan hasil pemilu hanya secara total per provinsi. Tahu-tahu Provinsi A sekian suara, Provinsi B sekian suara, Provinsi C sekian  suara dan seterusnya. Asal-usalnya tidak jelas. Tidak diketahui berapa hasil per kabupaten/kota dan berapa hasil per TPS. Alasannya pastilah tidak praktis, tidak memungkinkan dan alasan lain yang dicari-cari.

Atas dasar itu, kehadiran semacam Gerakan Menggugat Transparansi KPU atau apalah namanya, sangat diperlukan. Antara lain, menuntut KPU juga mengumumkan hasil per TPS  di website KPU, lengkap ngan lokasi TPS tersebut (nama desa/kelurahan). Kalau misalnya ada 400.000 TPS, maka sebaiknya diumumkan semua termasuk nama lokasi TPS tersebut. Idealnya tiap TPS mempunyai nomor kode mulai dari 000.001 sampai dengan 400.000, misalnya.

Dengan demikian,  pemilih yang memilih di TPS 231.546 (misalnya), bisa mencocokkan hasilnya di website KPU. Tidak sulit, apalagi kalau ada sukarelawan IT yang mau membantu KPU. Saatnya, para pemilih, terutama para mahasiswa, LSM independen maupun rakyat pecinta kejujujuran, menggunakan haknya untuk menggugat transparansi KPU agar kecurangan-kecurangan politik tidak terulang terus.

SURAT PEMBACA: Pancasila dalam Ancaman

Image

BEBERAPA tahun ini penulis merasakan adanya gerakan-gerakan anti-Pancasila yang bercita-cita mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) di bawah kepemimpinan seorang khilafah. Mungkin mereka menyadari, perjuangan melalui jalur militer ada resiko gagal. Contohnya, perjuangan Karto Suwiryo, Daud Beureuh, Ibnu Hadjar, Amir Fatah dan Kahar Muzakkar. Kemudian mereka beralih berjuang melalui jalur agama,politik dan terorisme.

Jalur agama dilakukan dengan cara melakukan brainwashing (cuci otak) berkedok :(dakwah/ceramah/khotbah/persuasi/sugesti/pencerahan/tausiyah dan semacamnya) dan bisa dilakukan di ponpes, masjid, majelis taklim dan kegiatan agama lainnya. Mereka juga melakukan brainwashing degan cara “personal approach” di sekolah, kampus, kantor , organisasi-organisasi dan semacamnya.

Bahkan juga melalui jalur parpol Islam. Tujuan brainwashing tersebut,di samping mengubah pola pikir pro-Pancasila menjadi anti-Pancasila dengan “iming-iming” negara berdasarkan Islam yang dijanjikan lebih baik, adil dan makmur di bawah kepemimpinan seorang khilafah yang bijaksana. Tentu, untuk meyakinkan, mereka membawa-bawa ayat suci. Brainwashing juga bertujuan menjadikan simpatisan parpolnya menjadi semakin fanatik dan militan. Dihilangkannya mata pelajaran / mata kuliah Pancasila dan Budi Pekerti di sekolah/kampus, bisa jadi akibat ulah simpatisan gagasan NII/Khilafah yang berhasil menyusup di tubuh birokrasi. Mereka memang tidak menggunakan istilah NII/Khilafah, tetapi menggunakan istilah negara yang berazaskan Islam dan pemimpin yang Islami dan bijaksana.  Bahkan, bisa juga mereka melakukan cara-cara melalui jalur terorisme.

Oleh karena itu, jika pemerintahan yang sekarang benar-benar ingin mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, perlu adanya “political will” untuk memasyarakatkan Pancasila melalui jalur pendidikan, parpol terutama parpol nasionalis. Juga melalui media massa cetak, radio maupun televisi. Jika tidak, gerakan tersebut tidak hanya membahayakan Pancasila, tetapi juga UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

SURAT PEMBACA: Pemilu Online Solusi Pemilu yang Jujur

Image

PENGALAMAN menunjukkan bahwa pemilu offline sangat rawan kecurangan, rawan suap/sogok dan rawan manipulasi. Mulai dari percetakan kertas suara, pembagian surat suara, penyimpanan kotak suara, perhitungan hasil suara dan boleh dikatakan kecurangan bisa terjadi mulai hulu hingga hilir. . DPT (daftar Pemilih Tetap) juga bisa dimanipuasi. TI (Teknologi Informasi) di KPU/KPUD-pun bisa direkayasa. Dengan kata lain, pemilu offline sulit dipantau, sulit diaudit dan kebenarannya juga sulit dibuktikan.

Solusinya yaitu pemilu online. Bukan prosesnya yang online, tetap online dalam hal data. Antara lain, (1).DPT online. Semua warganegara yang berhak memilih namanya harus tercantum di DPT online yang bisa dilihat dan dipantau dari berbagai tempat. Jika ada warganegara yang merasa berhak tetapi namanya tidak tercantum, bisa memprotes atau mengirimkan data-data kependudukannya beserta nomor KTP atau NIK-nya.

Di samping itu, (2) Tiap TPS harus diberi kode secara permanen. Misalnya se-Indonesia ada 500.000 TPS (Tempat Pemungutan Suara), maka harus diberi nomor urut (oleh KPU Pusat) mulai dari TPS nomor 000.001 s/d nomor 500.000. Nomor TPS inipun harus diumumkan secara online. (3).Hasil perolehan suara pemilu (maupun pilkada) harus diumumkan berdasarkan nomor TPS tersebut mulai nomor TPS terkecil hingga nomor TPS terbesar. Misalnya, TPS nomor 113.555 hasil perolehan suara untuk capres/cagub/cabup A sekian, B sekian, C sekian, D sekian dan E sekian. Hasil perolehan suara inipun harus dionlinekan sehingga tiap warga negara bisa mencocokkan kebenaran hasil di TPS dengan hasil yang diumumkan secara online.  Mempertahankan pemilu offline sama saja mempertahankan pemilu yang sangat berpotensi tidak jujur. Pemilu online adalah solusinya.

Hariyanto Imadha

BSD Nusaloka Blok S1/11

Jl.Bintan 2 Blok S1/11

Tangerang Selatan

SURAT PEMBACA: SBY Ternyata Hanya Dipilih 31% Rakyat Indonesia

Image

SELAMA ini ada anggapan dan pendapat bahwa SBY pada pemilu 2009, dipilih oleh sekitar 62% atau 65% dari rakyat Indonesia. Benarkah demikian? Ternyata itu pendapat yang keliru. Yang benar, SBY hanya dipilih 62% dari jumlah pemilih yang sah atau 31% dari jumlah rakyat Indonesia.

Jumlah penduduk pada saat pemilu 2009: 234.693.997 orang. DPT: 171.068.667.Golput 28%: 171.068.667 X 28% = 47.899.226,8.Pemilih yg menggunakan hak pilih: 171.068.667 – 47.899.227 = 123.169.440. Suara tidak sah 2%: 123.169.440 X 2% = 2.463.388,8.Suara sah: 123.169.440 – 2.463.388 = 120.706.052

Berarti yang memilih SBY:120.706.052 X 60% = 72.423.631,2. Prosentase: 72.423.631/ 171.068.667 X 100% = 42%. Yg tidak pilih SBY: 171.068.667 – 72.423.631 = 98.645.046. Prosentase: 98.645.046/ 171.068.667 X 100% = 58%. Kesimpulan: SBY dipilih 42% = 72.423.631 pemilih.SBY tidak dipilih 58% = 98.645.046 pemilih. Dari total 234.693.997 rakyat Indonesia. Yang tidak memilih SBY adalah: 234.693.997 – 72.423.631 = 162.270.366 rakyat. Prosentase: 162.270.366/234.693.997 X 100% = 69%.Yang memilih SBY adalah:234.693.997 – 162.270.366 = 72.423.631.Prosentase: 72.423.631/234.693.997 X 100% = 31%.

Jadi pernyataan rezim SBY bahwa SBY dipilih 60% atau 62% atau 65% rakyat Indonesia adalah menyesatkan! Sebab, ternyata SBY Cuma dipilih 31% rakyat Indonesia.

Hariyanto Imadha

BSD Nusaloka Sektor XIV-5

Jl.Bintan 2 Blok S1/11

Tangerang Selatan

SURAT PEMBACA: Syarat Menjadi Capres-Cawapres Sebaiknya Diperketat

KALAU Indonesia ingin mengurangi praktek-praktek korupsi,kolusi, nepotisme,suap, sogok dan pungli, terutama di kalangan para politisi, maka sebaiknya dimulai dulu dengan cara memperketat syarat-syarat menjadi capres-cawapres. Antara lain: 1). Minimal lulusan S1 dari perguruan tinggi yang “credible”, (2). Benar-benar sehat jasmani-rohani, (3). Lulus tes psikologi, terutama tes IQ dan tes kepribadian, (5). Tidak pernah tersangkut perkara pidana-perdata dan tidak berstatus saksi, tersangka ataupun terdakwa, dan (5). Pencalonan bersifat “bottom-up” (dicalonkan rakyat) dan bukan “top down” (mencalonkan diri)

Di samping itu tiap capres-cawapres harus memiliki “program tertulis” yang bersifat wajib . Yaitu: (1).Swasembada pangan atau swasembada sembako, (2). Menasionalisasikan sumber daya alam secara bertahap , (3).Mempunyai program jelas tentang pencegahan praktek-praktek korupsi, kolusi,nepotisme, suap, sogok dan pungli, (4). Memprioritaskan pembangunan di wilayah perbatasan, daerah terpencil dan daerah tertinggal dengan anggaran yang signifikan dan (5). Berdaulat di bidang ekonomi, politik, teknologi, keuangan, budaya dan sektor lain yang bersifat pro-rakyat.Semua dalam kurun waktu lima tahun dan berlandaskan Pancasila.

Kampanye sebaiknya dibatasi melalui televisi, radio ,surat kabar dan spanduk. Hal ini untuk mengurangi biaya politik tinggi (high cost politics) yang bisa berakibat munculnya praktek-praktek korupsi. Media kampanye berupa baliho, media kampanye yang ditempel di tembok, pohon (brosur,pamflet dan semacamnya) harus dilarang karena menganggu dan merusak keindahan kota.

Hariyanto Imadha
BSD Nusaloka Sektor XIV-5
Jl.Bintan 2 Blok S1/11
Tangerang 15318